Nata Pantai Barat
Natal adalah sebuah kecamatan
di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera
Utara, Indonesia, di pantai barat Sumatera
Utara. Di dekat kota ini terdapat Taman Nasional Batang Gadis dan di sana
terdapat kegiatan menambang emas. Natal berasal dari kata Ranah Nata (Bahasa Minangkabau : Tanah yang Datar),
sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah ini.
Sejarah
Natal atau Nata, sejak berabad-abad lalu telah menjadi
basis perdagangan bagi masyarakat Minangkabau.
Bersama kota-kota di pantai barat Sumatera Utara lainnya seperti Sibolga,
Barus, dan Sorkam, kota ini memiliki pola budaya Minangkabau.[1]
Wilayah ini mulai berkembang sejak diteroka oleh Raja Putiah asal Kesultanan Indrapura. Peneroka lainnya
adalah Pangeran Indra Sutan asal Kerajaan Pagaruyung dan ikut pula bersamanya
Datuk Imam asal Ujung Gading. Dalam
perkembangannya, wilayah ini kemudian menjadi kerajaan tersendiri yang dikenal
sebagai Ranah Nata.[2]
Masih terdapat kontroversi mengenai asal mula nama Natal. Ada yang mengatakan
bangsa Portugis yang memberi nama tersebut karena ketika mereka tiba di
Pelabuhan di Pantai Barat Mandailing, para pelaut Portugis mendapatkan kesan
bahwa pelabuhan alam ini mirip dengan Pelabuhan di wilayah Natal yang berada di
Afrika Selatan sekarang. Ada versi lain yang menyebutkan bahwa armada Portugis
tiba di Pelabuhan ini tepat pada hari besar Natal sehingga mereka menamakan
pelabuhan tersebut dengan nama Natal. Oleh Puti Balkis A Alisjahbana, adik
kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa kata
"Natal" berasal dari dua ungkapan pendek masing-masingdalam bahasa
Mandailing dan Minangkabau. Ungkapan dalam bahasa Mandailing yaitu "Na
Tarida" yang artinya yang tampak (dilihat dari kaki Gunung Sorik
Marapi di wilayah Mandailing Natal). Ungkapan ini kemudian berangsur-angsur
menjadi Natar.[3]
Pada abad ke-16, Natal dikuasai oleh Kerajaan Aceh.
Sejak tahun 1751-1825, Natal menjadi pos perdagangan Inggris. Setelah
ditandatanganinya Traktat London, Natal menjadi bagian pemerintah
Hindia
Belanda, yang pada tahun 1843 dimasukkan ke dalam Residensi
Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan, wilayah ini kemudian dimasukkan ke dalam
administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Budaya
Sebagai wilayah rantau Minangkabau, kebudayaan Natal
banyak dipengaruhi oleh budaya Minangkabau. Bahasa yang digunakan
masyarakatnya ialah Bahasa Minangkabau logat minang dialek pesisir. Namun sebagai kota perdagangan yang heterogen, budaya Natal juga banyak
menyerap kebudayaan-kebudayaan lain, seperti budaya Melayu, Mandailing, Aceh,
Bugis, India, dan Arab.
Seperti wilayah lainnya di pesisir barat Minangkabau,
di Natal seorang anak yang ibu dan ayahnya keturunan bangsawan, maka akan
berhak menyandang gelar Sutan (laki-laki) atau Puti (perempuan). Namun jika
ibunya bukan keturunan bangsawan, maka anaknya hanya menggunakan gelar Marah
(laki-laki) atau Sitti (perempuan).[4]
Tokoh
Rumah sakit Natal, dulu kantor dan kediaman assistent-resident
Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal
dengan nama Multatuli
Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh
terkenal Indonesia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Willem
Iskandar, dan Amrus Natalsya.
Catatan kaki
4.
↑ Elizabeth
Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth
Century, Cornell University, 1981
|
|
Comments
Post a Comment